BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Landasan
Teori
2.1.1 Definisi
Chikungunya
Chikungunya adalah penyakit
yang disebabkan oleh virus chikungunya
(CHIK). Kata chikungunya berasal dari bahasa Swahili (suku
bangsa di Afrika) yang berarti "orang yang jalannya membungkuk dan menekuk
lutut". Gejala klinis yang sering dialami oleh penderita adalah demam
disertai dengan nyeri tulang yang hebat sehingga penderita tidak mampu bergerak
(break-bone fever). Oleh karena itu, penyakit chikungunya sering disebut
sebagai flu tulang. Chikungunya ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti vektor
utama dan Aedes albopictus vektor potensial (Soedarto, 2007 : 151).
2.1.2 Etiologi
Virus chikungunya merupakan
anggota genus Alphavirus dalam famili Togaviridae. Strain Asia
merupakan genotypes yang berbeda dengan yang dari Afrika. Virus
chikungunya disebut juga Arbovirus A chikungunya type, CHIK, CK. Virus
chikungunya masuk keluarga Togaviridae, genus Alphavirus. Virions
mengandung satu molekul single standed RNA. Virus dapat menyerang
manusia dan hewan. Virions dibungkus oleh lipid membrane, pleomorphic,
spherical, dengan diameter 70 nm. Pada permukaan envelope didapatkan
glycoprotein (terdiri dari 2 virus protein membentuk heterodimer).
Nucleocapsids isometric berdiameter 40 nm (Soegeng Soegijanto, 2004 :
57).
2.1.3 Vektor
Vektor yang berperan dalam
chikungunya dan DBD adalah nyamuk Aedes aegypti (the yellow fever
mosquito) dan vektor potensialnya adalah nyamuk Aedes albopictus (the
Asian tiger mosquito) (Depkes RI, 2007).
1)
Taksonomi
Secara taksonomi kedua spesies
ini termasuk filum Arthropoda (berkaki buku), kelas Hexapoda (berkaki
enam), ordo Diptera (bersayap dua), subordo Nematocera (antena
filiform, segmen banyak), famili Culicidae (keluarga nyamuk), subfamili Culicinae
(termasuk tribus Anophelini dan Toxorynchitini), tribus Culicini
(termasuk generaculex dan Mansonia), genus Aedes (Stegomya),
spesies Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Sutaryo, 2004 : 44).
2)
Morfologi
Masa pertumbuhan dan
perkembangan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus dapat
dibagi menjadi 4 tahap, yaitu telur, larva, pupa, dan dewasa, sehingga termasuk
metamorfosis sempurna (holometabola).
a)
Telur
Karakteristik telur Aedes berwarna
hitam, berbentuk bulat pancung, mulamula berwarna putih kemudian berubah
menjadi hitam. Telur tersebut diletakkan secara terpisah di permukaan air untuk
memudahkannya menyebar dan berkembang menjadi larva di dalam media air. Media
air yang dipilih untuk tempat peneluran itu adalah air bersih yang stagnan (tidak
mengalir) dan tidak berisi spesies lain sebelumnya (I Wayan Supartha, 2008 :
6).
b)
Larva
Larva Aedes semuanya
hidup di air yang stadiumnya terdiri dari empat instar. Keempat instar itu
dapat diselesaikan dalam waktu 4 hari – 2 minggu tergantung keadaan lingkungan
seperti suhu air persediaan makanan. Pada air yang agak dingin perkembangan
larva lebih lambat, demikian juga keterbatasan persediaan makanan juga
menghambat perkembangan larva. Setelah melewati stadium instar ke empat larva
berubah menjadi pupa (Sayono, 2008 : 79).
c)
Pupa
Stadium pupa atau kepompong
merupakan fase akhir siklus nyamuk dalam lingkungan air. Stadium ini
membutuhkan waktu sekitar 2 hari pada suhu optimum. Fase ini adalah periode
waktu tidak makan, namun tetap membutuhkan oksigen untuk bernafas dan sedikit
gerak. Pupa biasanya mengapung pada permukaan air di sudut atau tepi tempat
perindukan untuk keperluan bernafasnya (Sutaryo, 2004 : 68).
d)
Nyamuk Dewasa
Tidak semua Aedes dewasa
memiliki pola bentuk toraks yang jelas dengan warna hitam, putih, keperakan,
atau kuning. Pada kaki terdapat cincin hitam dan putih. Aedes aegypti memiliki
ciri khas warna putih keperakan berbentuk lira (lengkung) pada kedua
sisi skutum (punggung), sedangkan pada Aedes albopictus hanya
membentuk sebuah garis lurus. Susunan vena sayap sempit dan hampir seluruhnya
hitam, kecuali bagian pangkal sayap. Seluruh segmen abdomen berwarna
belang hitam putih, membentuk pola tertentu, dan pada betina ujung abdomen membentuk
titik (meruncing) (I Wayan Supartha, 2008 : 9).
3)
Siklus Hidup
Siklus hidup nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopictus. Telur menetas menjadi larva dalam 1-2
hari. Umur larva 7-9 hari, kemudian berubah menjadi pupa. Umur pupa 2-4 hari,
lalu menjadi nyamuk. Umur nyamuk betina 8-15 hari, nyamuk jantan 3-6 hari
(Sutaryo, 2004 : 45).
4)
Bionomik
Bionomik vektor adalah tempat
untuk berkembang biak (breeding places), kebiasaan menggigit (feeding
habit), tempat untuk beristirahat (resting places), dan jangkauan
terbang (flight range).
a) Tempat Berkembang (Breeding Places)
Tempat kebiasaan bertelur dari
kedua vektor tersebut agak berbeda. Untuk Aedes aegypti, tempat yang
disenangi untuk bertelur adalah di Tempat Penampungan Air (TPA) yang jernih
dalam rumah dan yang terlindung dari sinar matahari seperti bak di kamar kecil
(WC), bak mandi, tandon air minum, ember, tempayan, drum, dan sejenisnya.
Penampungan ini biasanya dipakai untuk keperluan rumah tangga sehari-hari.
Sedangkan Aedes albopictus lebih senang bertelur pada tempat penampungan
air yang berada di luar rumah seperti kaleng, botol, ban bekas yang dibuang,
lubang pohon, lekukan tanaman, potongan batang bambu, dan buah kelapa yang
sudah terbuka. Penampungan ini bukan dipakai untuk keperluan rumah tangga
sehari-hari. Hal itu sesuai dengan sifat Aedes aegypti yang mempunyai
kecenderungan sebagai nyamuk rumah dan Aedes albopictus yang merupakan
nyamuk luar rumah (Sutaryo, 2004 : 47).
b) Kebiasaan Menggigit (Feeding Habit)
Nyamuk Aedes aegypti bersifat
antropofilik yang berarti lebih menyukai menghisap darah manusia dibandingkan
dengan darah hewan. Sedangkan nyamuk Aedes albopictus merupakan
penghisap darah yang acak dan lebih zoofagik (WHO, 2005 : 62).
Untuk mendapatkan inangnya, nyamuk aktif terbang pada pagi hari yaitu sekitar
pukul 08.00-10.00 dan sore hari 15.00-17.00. Nyamuk yang aktif menghisap darah
adalah yang betina untuk mendapatkan protein. Protein tersebut digunakan untuk
keperluan produksi dan proses pematangan telur. Tiga hari setelah menghisap
darah, nyamuk betina menghasilkan telur sampai 100 butir telur kemudian siap
diletakkan pada media (Suroso, 2003 : 145).
c) Tempat Istirahat (Resting Places)
Tempat yang disayangi nyamuk
untuk beristirahat selama menunggu bertelur adalah tempat yang gelap, lembab,
dan sedikit angin. Aedes aegypti lebih menyukai tempat yang gelap,
lembab, dan tersembunyi di dalam rumah atau bangunan sebagai tempat
peristirahatannya, termasuk di kamar tidur, di kamar mandi, maupun di dapur.
Nyamuk ini jarang ditemukan di luar rumah, di tanaman, atau tempat terlindung
lainnya. Di dalam ruangan, permukaan istirahat yang disukai nyamuk adalah di
bawah perabotan, benda-benda yang tergantung seperti baju dan tirai, serta
dinding. Sementara nyamuk Aedes albopictus lebih menyukai tempat di luar
rumah yaitu hidup di lubang-lubang pohon, lekukan tanaman, dan kebun atau kawasan
pinggir hutan. Oleh karena itu, Aedes albopictus sering disebut nyamuk kebun
(forest mosquito) (WHO, 2005 : 63).
d) Jangkauan Terbang (Flight Range)
Pergerakan nyamuk Aedes
aegypti dari tempat perindukan ke tempat mencari mangsa dan tempat
istirahat ditentukan oleh kemampuan terbang nyamuk. Jangkauan terbang (flight
range) rata-rata nyamuk Aedes aegypti adalah sekitar 100 m, tetapi pada
keadaan tertentu nyamuk ini dapat terbang sampai beberapa kilometer dalam usahanya
untuk mencari tempat perindukan untuk meletakkan telurnya. Nyamuk Aedes
albopictus jangkauan terbang berkisar antara 400-600 m (Djoni Djunaedi, 2006
: 13).
2.1.4 Penyebaran
Dan Penularan Penyakit
Penyebaran penyakit chikungunya biasanya terjadi pada
daerah endemis Demam Berdarah Dengue (DBD). Banyaknya tempat perindukan nyamuk
seiring berhubungan dengan peningkatan kejadian penyakit chikungunya. Saat ini
hampir seluruh propinsi di Indonesia potensial untuk terjadinya KLB
chikungunya. KLB sering terjadi pada awal dan akhir musim hujan. Penyakit
chikungunya lebih sering terjadi di daerah sub urban (Depkes RI, 2008).
Penularan chikungunya ditularkan melalui tusukan nyamuk (Aedes aegypti/Aedes
albopictus). Nyamuk dapat menjadi berpotensi menularkan penyakit bila pernah
menusuk penderita chikungunya. Kera dan beberapa binatang buas lainnya juga
dapat sebagai perantara (reservoir) penyakit ini. Nyamuk yang terinfeksi
akan menularkan penyakit bila menusuk manusia yang sehat. Chikungunya bersifat
sporadis, artinya di berbagai tempat timbul serangan berskala kecil, misalnya
mengenai beberapa desa, sehingga penyebarannya tidak merata (Widoyono,
2008 : 69).
2.1.5 Gejala
Klinis
Chikungunya merupakan infeksi
viral akut dengan onset mendadak. Masa inkubasinya berkisar antara 2-20 hari,
namun biasanya 3-7 hari. Manifestasi klinis berlangsung 3-10 hari, yang
ditandai dengan demam, nyeri sendi (artralgia), nyeri otot (mialgia),
bercak kemarahan pada kulit, sakit kepala, kejang dan penurunan kesadaran,
infeksi saluran pernafasan, dan gejala lainnya (Anies, 2006 : 75).
2.1.6 Pengobatan
Chikungunya pada dasarnya self
limiting disease, artinya dapat sembuh
dengan sendirinya. Tidak ada vaksin maupun obat khusus
untuk chikungunya. Oleh sebab itu, pengobatan ditujukan untuk mengatasi gejala
yang mengganggu (simtomatis). Obat-obatan yang dapat digunakan adalah
obat antipiretik, analgetik (non-aspirin analgetik; non steroid anti inflamasi drug
parasetamol, antalgin, natrium diklofenak, piroksikam, ibuprofen, obat anti
mual dan muntah : dimenhidramin atau metoklopramid). Aspirin dan steroid harus
dihindari. Terapi lain disesuaikan dengan gejala yang dirasakan (Sudarto dkk,
2007 : 155).
Bagi penderita sangat dianjurkan makan makanan yang bergizi, cukup
karbohidrat dan
terutama protein serta minum sebanyak mungkin. Memperbanyak konsumsi
buah-buahan segar, sebaiknya minum jus buah segar. Vitamin peningkat daya tahan
tubuh juga bermanfaat untuk menghadapi penyakit ini. Selain vitamin, makanan
yang mengandung cukup banyak protein dan karbohidrat juga meningkatkan daya
tahan tubuh. Daya tahan tubuh yang bagus dan istirahat cukup bisa membuat rasa
ngilu pada persendian cepat hilang. Minum banyak air putih juga disarankan
untuk menghilangkan gejala demam (Anies, 2005 : 102).
2.1.7 Tindakan
Pencegahan
Mengingat nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopictus adalah vektor penular virus chikungunya
dan virus dengue (DBD), maka upaya pencegahan
chikungunya hampir
sama dengan pencegahan untuk penyakit DBD. Pencegahan dititikberatkan pada
pemberantasan nyamuk penular yang dapat dilakukan terhadap jentiknya atau
nyamuk dewasa (Widoyono, 2008 : 70).
1)
Pemberantasan
Jentik
Pemberantasan jentik nyamuk
yang dikenal dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), dilakukan dengan cara
kimiawi, biologi dan fisik.
2)
Pemberantasan
Nyamuk
Pemberantasan terhadap nyamuk
dewasa dilakukan dengan cara penyemprotan (pengasapan = fogging) dengan
insektisida. Insektisida yang dapat digunakan ialah insektisida golongan:
-Organophospate, misalnya
malathion, fenitrothion
-Pyretroid sintetic, misalnya
lamda, sihalotrin, permetrin
-Carbamat
Alat yang digunakan untuk penyemprotan ialah mesin fogg
atau mesin ULV (Depkes RI, 2005).
2.2 Faktor
Yang Berhubungan Dengan Kejadian Chikungunya
Menurut teori Hendrik L. Blum, ada beberapa faktor yang
mempengaruhi kesehatan, baik kesehatan individu maupun kesehatan masyarakat
yaitu keturunan, lingkungan, perilaku, dan pelayanan kesehatan (Soekidjo Notoatmodjo,
2007 : 166).
2.2.1 Keturunan (Genetik)
Menurut Yuli Kusumawati
(2003:16), genetik adalah faktor-faktor yang
diturunkan secara alamiah orang tua pada anaknya.
Keturunan merupakan konsepsi dasar atau modal untuk perkembangan perilaku
makhluk hidup termasuk perilaku manusia. Selama ini belum pernah ada penelitian
yang spesifik meneliti tentang faktor penyakit chikungunya yang disebabkan oleh
keturunan.
2.2.2 Lingkungan
Derajat kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor salah
satunya adalah lingkungan. Lingkungan adalah himpunan dari semua kondisi luar
yang berpengaruh pada kehidupan dan perkembangan pada suatu organisme, perilaku
manusia, dan kelompok masyarakat. Lingkungan memegang peranan yang sangat penting
dalam menyebabkan penyakit-penyakit menular. Lingkungan sangat berpengaruh
terhadap distribusi kasus chikungunya. Secara umum lingkungan dibedakan menjadi
3, yaitu : lingkungan fisik, lingkungan biologik, dan lingkungan sosial
(Budioro, 2001 : 39).
2.2.3 Perilaku
Menurut Skinner (1938) yang
dikutip oleh Soekidjo Notoatmodjo (2005 :132), perilaku merupakan hasil
hubungan antara perangsang (stimulus) dan
tantangan dan respons. Ada beberapa faktor perilaku yang
berhubungan dengan kejadian chikungunya adalah sebagai berikut :
1) Kebiasaan menguras tempat penampungan air (TPA)
2) Kebiasaan menutup tempat penampungan air (TPA)
3) Kebiasaan mengubur barang bekas
4) Kebiasaan menggantung pakaian
5) Kebiasaan tidur siang
2.2.4 Pelayanan Kesehatan
Secara umum pelayanan kesehatan
masyarakat merupakan sub pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya adalah
pelayanan preventif (pencegahan), promotif (peningkatan
kesehatan), dan pelayanan kuratif (pengobatan) untuk meningkatkan
derajat kesehatan dengan sasaran masyarakat (Soekidjo Notoatmodjo, 2007 : 101).